Bagaimana startup runtuh
Sekitar 80% startup gulung tikar dalam dua tahun; mayoritas sisanya hanya hidup segan mati tak mau. Namun para pendiri berani tetap maju. Gagal dalam startup bukan gagal dalam hidup. Biarlah ini jadi peringatan.
Tn. Kenari, jagoan informatika, semasa kuliah membuat sistem ketertelusuran murah dari teknologi laboratorium dan jadi bintang wirausaha kampus. Ia mendirikan perusahaan, menggalang dana, wara‑wiri di acara — masa jaya. Akhir 2018 ia mengirim pesan: “Kami tutup.” Pelanggannya adalah kantor inspeksi dan karantina lintas batas setempat. Setelah reformasi administrasi besar, kantor‑kantor itu dilebur di bawah bea cukai; sistem lama dibuang, kanal penjualan hancur, bisnis baru susah dibuka. Ia bertahan beberapa bulan; saat kas habis, perusahaan ditutup.
Tn. Chunshen adalah veteran. Ia masih terkenang kegagalan pertama. Usai lulus, ia ditempatkan di BUMN utara. Ia melihat pedagang selatan — tanpa gelar, tanpa teknologi — pulang dengan dompet tebal. Ia punya keterampilan dan harga diri, tapi hidupnya tampak buntu. Ia nekat mendirikan usaha sendiri, memproduksi barang yang sama dengan bekas tempat kerja. Kualitas sama — namun pelanggan menolak: “Kami percaya pabrik, bukan orang.” Terpaksa ia menjual katup dengan harga murah ke bekas kantor, jadi OEM. Lama‑kelamaan, bekas kantor itu juga seret; pekerjanya sendiri menganggur — tak perlu OEM luar. Kehilangan penopang, ia merantau sendiri ke Shenzhen, memulai dari produk dan klien terkecil, dan dalam dua dekade membangun usahanya. Kini ia mundur dari garis depan, menyerahkan perusahaan ke para murid, dan tinggal di kota kecil AS — memancing dan bermain dengan cucu.
Tn. Daoyi, sopir taksi di Hangzhou asal barat Zhejiang, biasa meneguk huangjiu seusai kerja di rumah makan Quzhou dekat rumah. Ia pendiam; suka minum sambil menonton siaran langsung video pendek. Suatu malam seorang streamer berseru: “Jangan ciut, gas! Menang — model di klub; kalah — kerja kasar!” Daoyi menepuk meja: “Itulah hidupku!” dan menembakkan deretan 666. Ceritanya: dulu ia punya pabrik payung kecil di kampung, pekerja hingga 200 orang — separuh desa. Seorang klien ekspor mengundangnya ke Dongguan dan memberinya “pengalaman” itu; ia ketagihan hidup bak kaisar. Dengan dalih dinas ia sering ke Guangdong/Shenzhen dan makin abai pada pabrik. Pesanan merosot; pekerja 200→100→50, lalu tutup. Ia beralih jadi sopir taksi.
Catatan akhir: Charlie Munger sepanjang hidup mengumpulkan dan menelaah kasus kegagalan — manusia, industri, regulasi, kampus — dan menyuling penyebabnya menjadi checklist pra‑keputusan; berkat itu ia nyaris tak membuat kesalahan besar.
Diterbitkan pada: 11 Jun 2019 · Diubah pada: 26 Okt 2025